1. Question: Anak saya ingin ikut kegiatan MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) di kampusnya. Bagaimana caranya agar saya tenang melepasnya? (Ibu Husna Darmawan – PRBTN)

Answer: 

Ibu Husna, kekhawatiran ibu sebagai orang tua tentu saja adalah hal yang wajar serta dapat dipahami. Wajar jika Ibu merasa khawatir akan keselamatan anak, mengingat adanya kemungkinan-kemungkinan negatif seperti kecelakaan saat anak menjelajah alam. Namun, perlu diingat, secara statistik, sebetulnya jauh lebih banyak mahasiswa yang kembali dengan senang dan selamat setelah mengikuti kegiatan menjelajah alam.

Terlepas dari itu, banyak manfaat yang bisa didapat oleh anak dalam mengikuti kegiatan non-akademis di lingkungan kampus, seperti:

  • Kegiatan non-akademis dapat menjadi wadah untuk menyalurkan bakat dan energi mahasiswa;
  • Anak bisa mendapatkan tambahan pengetahuan, wawasan, dan juga relasi sosial;
  • Sebagai generasi saat ini yang sudah terkepung oleh kemajuan teknologi, aktivitas kembali ke alam sangat baik untuk menumbuhkan kecintaan dan kepekaan perasaan.

Sebagai orang tua, yang diharapkan bisa Ibu berikan adalah doa dan dukungan, baik dukungan emosional maupun material seperti tambahan uang saku sebagai bekal perjalanan. Ketika anak sudah mengalami kegiatan pencinta alam secara langsung, orang tua dapat bertanya pada anak: “Alhamdulillah sehat selamat semua ya, nak. Senang dengan perjalanannya? Berikutnya ke mana?”. Jika ternyata yang ia rasakan tidak senang, nantinya menghentikan keikutsertaannya dalam kegiatan ini adalah hasil pilihannya sendiri, dan bukan karena orang tua yang dianggap menghalangi.

2. Question: Akibat belajar dari film-film dan video YouTube berbahasa Inggris, anak saya jadi lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris sehari-hari. Bagaimana caranya agar anak juga mampu berkomunikasi dengan nyaman menggunakan Bahasa Indonesia? (Ibu Dian Mulia – KRBTN)

Answer:

Bahasa pada dasarnya adalah alat berkomunikasi dua arah. Dengan bahasa apapun, sebenarnya yang penting untuk diperhatikan adalah apakah anak betul cara pengucapannya, sesuai antara kosa kata yang disampaikan dengan yang dimaksudkan, orang yang diajak berbicara bisa mengerti yang disampaikan, serta anak mampu memahami yang disampaikan orang lain. Saat belajar berkomunikasi, bayi atau anak sebenarnya tidak tahu apakah kata-kata yang ia ucapkan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ataupun bahasa-bahasa lainnya. Yang anak pahami hanyalah maksud dari apa yang disampaikan oleh orang yang berbicara padanya, serta respon apa yang sesuai yang dapat ia sampaikan. 

Salah satu keistimewaan anak yang belajar beberapa bahasa di usia sebelum 5 tahun adalah ia akan berbicara  bahasa tertentu dengan orang tertentu. Saya berikan contoh kasus: terdapat anak yang lahir di Jakarta, memiliki kedua orang tua yang berbicara pada anak menggunakan Bahasa Indonesia. Anak tersebut memiliki ART yang aktif berbicara menggunakan Bahasa Jawa. Ketika Ayah sang anak ditugaskan ke Amerika Serikat selama 2 tahun, sang anak menggunakan Bahasa Inggris saat berada di luar rumah, Saat kembali ke Indonesia di usia 5 tahun, sang anak bersekolah di TK yang menggunakan dua bahasa (Inggris dan Indonesia). Hasilnya, sang anak mampu berbicara 3 bahasa secara aktif: Bahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa, yang ia gunakan tergantung dengan bahasa apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya.

Nah, kalau di kondisi anak Ibu Dian yang berusia 4 tahun dan saat ini sudah lebih paham dan lebih tertarik dengan menggunakan Bahasa Inggris karena belajar dari gadget melalui video atau film-film, yang perlu Ibu pastikan adalah:

a. Apakah Bahasa Inggris yang diucapkan anak sudah dapat ia gunakan sebagai sarana berkomunikasi dua arah? Hal ini untuk memastikan apakah perkembangan kemampuan berbicaranya tetap berkembang sesuai usianya.

b. Apakah ia tetap bisa memahami instruksi yang disampaikan dengan bahasa Indonesia tetapi dalam menjawab tetap menggunakan Bahasa Inggris? Hal ini penting untuk memastikan kesiapan dan kemampuannya untuk memahami berbagai macam bahasa walaupun secara pasif.

c. Apakah Ananda bisa dan mau menatap lawan bicaranya saat ia berkomunikasi? Hal ini penting untuk mengecek pengaruh dari layar elektronik, di mana anak kurang terlatih untuk menatap objek yang ada di sekitarnya secara langsung.

Jika ternyata kondisi anak adalah a dan b, maka yang harus disiapkan orang tua adalah adanya orang di lingkungan rumah yang bisa mengajaknya berkomunikasi aktif dalam bahasa Inggris, sehingga kemampuan berbahasanya terus berkembang (bukan hanya mengikuti saja apa yang ia sering dengar dari tontonannya). Dengan begitu, Bahasa Inggris akan menjadi bahasa utama yang ia kuasai dan akan menjadi bahasa pengantarnya dalam belajar hal-hal baru baginya. Sementara, Bahasa Indonesia akan tetap bisa diajarkan untuk percakapan sehari-hari serta bersosialisasi.

Jika ternyata anak bermasalah pada kondisi c, maka orang tua perlu untuk membawanya kepada tenaga ahli (Psikolog) untuk memastikan bahwa perkembangan kemampuan atensinya berkembang normal dan tidak ada gangguan fungsi sosial (berkomunikasi) yang disebabkan terlalu banyaknya interaksi dengan perangkat audio visual.

3. Question: Bagaimana cara mengatasi anak kedua yang suka menjahili kakak dan adiknya sampai menangis? (Ibu Tina Manaek Simatupang – KPRO)

Answer: 

Ibu Tina, saya asumsikan bahwa Ananda yang ibu maksudkan adalah anak kedua atau anak tengah Ibu, ya, karena ia punya kakak dan adik juga. Saya ingin bercerita terlebih dahulu mengenai kecenderungan perkembangan sifat dari anak kedua yang bukan merupakan anak sulung ataupun anak bungsu. 

Anak kedua lahir saat sudah ada anak kecil lain di antara orang tuanya. Sejak bayi, anak kedua sudah bisa memperhatikan interaksi yang terjalin di antara kakak dan orang tuanya. Dari pengamatan inilah, anak kedua dapat belajar tentang aksi-reaksi, yang ia pelajari dari bagaimana perilaku-perilaku kakaknya mendapatkan reaksi dari orang tuanya. Misalnya, ketika sang kakak melakukan sesuatu dan mendapat pujian, pelukan, atau bentuk perhatian lain dari orang tuanya, maka anak kedua pun akan belajar untuk meniru perilaku yang sama agar mendapat reaksi baik juga dari orang tuanya. Sebaliknya, ketika anak kedua mengamati bahwa perilaku-perilaku lain dari kakaknya mendapat reaksi yang tidak menyenangkan baginya, misalnya berupa suara orang tuanya yang meninggi, teriakan, mata yang dibesarkan atau melotot, mungkin dicubit atau dipukul, maka anak kedua akan belajar untuk tidak menirukan perilaku tersebut. Dalam hal ini, anak kedua belajar menggunakan proses observasi, persaingan dan kompetisi, serta bagaimana berstrategi untuk mendapatkan reaksi atau feedback yang ia inginkan dari orang tuanya.

Ketika lahir anak berikutnya, anak kedua menyadari perhatian dari orang tuanya terbagi lagi, bahkan cenderung lebih berat ke adiknya yang baru lahir. Ia pun mulai belajar untuk mengatur strategi lagi, bagaimana caranya agar tidak kehilangan perhatian dari orang tuanya. Akibat perhatian orang tua yang terbagi-bagi inilah, timbul perilaku “iseng” atau “jahil” di anak kedua. Biasanya, anak kedua berperilaku “iseng” atau “jahil” karena ia bingung tidak ada yang bisa ia lakukan, ingin mengajak orang di sekitarnya bermain, atau meminta perhatian dari orang tuanya. Yang dapat orang tua lakukan dalam menghadapi situasi demikian adalah:

  • Siapkan daftar kegiatan yang bisa diberikan pada anak-anak untuk dilakukan sehari-hari. Libatkan anak dalam kegiatan yang dapat melatih motoriknya, serta usahakan untuk berkomunikasi dengan anak agar ia merasa diterima oleh orang tuanya.
  • Hindari meminta anak untuk selalu mengalah dengan saudaranya, tetapi ajarkan anak tentang konsep kepemilikan. Berapapun usia anak, ia harus dibiasakan menghargai milik orang lain, misalnya dengan mengajarkan untuk selalu meminta izin ketika ingin menggunakan barang milik orang lain, mengucapkan terima kasih setelahnya, dan mengembalikan kembali ke tempatnya.
  • Pastikan setiap anak mendapatkan jatah sentuhan yang sama banyak dari kedua orang tuanya, sehingga kebutuhan dasar mereka akan kasih sayang bisa terpenuhi dan ada perasaan adil yang membuat tentram. Setiap sentuhan dan elusan dari ujung rambut hingga tubuh anak, berisi neuron-neuron yang akan aktif dan merasakan adanya relaksasi ketika sentuhannya dilakukan dengan kasih sayang. Berbeda dengan pukulan, cubitan, ataupun ancaman, membuat tubuh tegang, aliran darah menjadi cepat sehingga berdebar-debar sehingga emosi mudah meningkat.
  • Biasakan untuk berkomunikasi aktif dengan setiap anak dengan saling memandang mata masing-masing, sehingga pembicaraan akan bisa lebih fokus dan anak terbiasa untuk mengungkapkan pikiran dan isi hatinya.

4. Question: Anak saya usia 18 bulan, jarang mau bicara kecuali ketika lapar dan menangis minta susu. Bagaimana cara menstimulasi anak agar mau bicara? (Ibu Gabe Sri – PSBAR)

Answer:

Ibu Gabe Sri, yang pertama harus Ibu perhatikan adalah apakah saat anak meminta susu bicaranya jelas dan bisa dipahami? Adakah kalimat lain yang jelas mengucapkannya walaupun sekali-sekali? Apakah semua harus kalimat yang terucap harus diawali dengan reaksi emosi dahulu baru ia mau berbicara?

Jika ada waktu, sebaiknya Ibu mencatat semua perkembangan bicaranya yang berupa: hari, tanggal, jam, kejadian yang memicu, serta kalimat apa yang diucapkan. Dengan begitu, Ibu dapat mempelajari kenapa Ananda sudah bisa bicara tetapi hanya mengekspresikannya di waktu-waktu tertentu saja. Dari catatan yang Ibu buat, Ibu juga akan mendapatkan informasi berupa:

  • Apakah selama ini orang tua di rumah memberikan sesuatu kepada Ananda tanpa Ananda minta terlebih dahulu? Seberapa sering Ananda meminta sesuatu atas keinginannya sendiri?
  • Apakah ketika anak diajak bercakap-cakap dua arah bersedia menatap lawan bicaranya? Bukan hanya oleh orang tua, tapi juga dengan orang dewasa lain yang ada di rumah. Apakah anak aktif dalam hal-hal lain seperti misalnya bertanya, bercerita, ataupun bernyanyi?

Silahkan dipraktikkan, ya, Ibu. Jika sudah berusia 2 tahun dan anak masih jarang bicara, kurang bersedia menatap, atau bicaranya belum jelas, sebaiknya Ibu konsultasikan ke dokter atau psikolog anak, ya. Tetap semangat, Ibu!

5. Question: Anak saya laki-laki usia 6 tahun, sering sekali melakukan sesuatu yang semakin dilarang semakin dilakukan. Misalnya, saya larang jangan bermain dekat adiknya yang sedang tidur, malah semakin ribut, yang akhirnya berujung membuat saya marah. Mohon bimbingannya. (Ibu Corry Andar Sitepu – KANAU)

Answer: 

Ibu Corry, tentang Ananda yang seolah suka dengan sengaja “iseng” atau “jahil” kepada saudaranya yang memicu emosi orang tuanya, sudah saya uraikan di jawaban pertanyaan no 3 ya, bu.Intinya, dalam situasi seperti ini, orang tua perlu kreatif mencari kalimat lain untuk membuat anak kita tidak merasa kita terlalu mengutamakan saudaranya yang lain. Daripada melarang atau emosi pada anak, orang tua sebaiknya mengatakan hal-hal yang lebih bernada positif, seperti: “Abang/kakak, mau bantuin Mama gak? Yuk kita ke dapur, Mama buatkan abang/kakak makanan enak.” Atau bisa hal lain yang membuat perhatian mereka tidak lagi fokus pada adiknya yang sedang tidur. Kalau Ananda ngotot tetap ingin ada di kamar yang sama, kita harus melihat jangan-jangan karena misalnya kamar adiknya tidur lebih nyaman karena ACnya nyala, sementara di luar kamar ia merasa gerah. Yang pasti, pasti ada alasan di balik perilaku anak-anak yang masih sederhana. Anggap menjadi sesuatu yang lucu saja ya bu, sehingga kita-nya juga nggak mudah terpancing emosi.

6. Question: Bagaimana cara menyelaraskan cara mendidik anak antara ayah dan ibu? Biasanya, saat anak merengek meminta sesuatu, ayahnya akan memilih cara aman dengan menuruti semua keinginan anak, sedangkan saya lebih selektif dalam memenuhi keinginannya. Hal ini membuat seolah-olah ayah lebih sayang dengan anak dibanding ibu. Terima kasih. (Ibu Gadis F. Bangun – KBANG)

Answer:

Ibu Gadis, sebetulnya saya ingin bertanya sudah berapa tahun usia pernikahannya dan berapa anak yang dimiliki ibu dan suami? Tapi saya coba jawab pertanyaannya ya, karena hal ini sering ditanyakan para ayah-ibu saat konsultasi ataupun seminar.

Saat sebuah pasangan menikah dan kemudian sang istri mengandung, sebenarnya saat itu Tuhan sedang memberikan waktu pada kita untuk bersiap-siap menjadi orang tua saat anak kita lahir. Tapi, seringkali kebanyakan pasangan lebih fokus pada persiapan fisiknya saja, dan kurang memperhitungkan kondisi psikologis yang mengiringi kehadiran anggota keluarga yang baru, termasuk kondisi psikologis istri pasca melahirkan dan kondisi psikologis suami setelah istrinya melahirkan dan hadir anak di antara mereka. Termasuk seperti apa kondisi bayi yang lahir, akan mempengaruhi bagaimana kedua orang tuanya memiliki pengalaman untuk mengurus dan membesarkannya. Namun yang utama tetaplah kekompakan suami istri, terutama saat anak pertama yang lahir, karena mereka berdua sedang membentuk value yang akan diterapkan di anggota keluarganya untuk waktu yang lama. Komunikasi antara suami istri, baik verbal maupun kebutuhan non verbal (love language) akan mempengaruhi bagaimana diskusi mengenai kebijakan pola asuh yang akan diterapkan pada anak-anaknya. Keduanya bisa mencoba mencari-cari informasi tentang parenting, sehingga bisa memiliki materi pengetahuan yang cukup saat berdiskusi berdua. Termasuk bagaimana kedua orang tua pasangan ini menerapkan pola asuh sehingga mereka berdua menjadi manusia dewasa, dapat menjadi referensi apakah pendekatan tersebut membuat seorang anak nyaman, jadi paham aturan, patuh pada orang tua, bertanggung jawab, dan lain-lain, ataukah ada parenting yang didapatkan dari kedua orang tua yang membuat tidak nyaman sehingga ingin dimodifikasi kepada anak mereka sekarang. Suasana diskusinya harus santai, suasana hati sedang nyaman, tidak sedang diburu waktu untuk segera mengambil keputusan. Pembagian tugas dalam peran Ayah dan Ibu pun harus dibicarakan dahulu agar saat anak2 sudah pandai bertanya nanti, mereka tidak saling melempar jawaban yang membuat anak bingung atau justru anak mengenali peluang untuk bisa memanipulasi orang tuanya.

Nah, jika sekarang sudah terlanjur nih ya, bu, bapak paling nggak bisa kalau dengar suara anak merengek apalagi menangis, pasti akan cari cara tercepat untuk membuat suasana nyaman kembali untuk dirinya. Tapi ibu melihat pendekatan ini membuat anak menjadi tidak patuh pada Mamanya. Kalau sudah begini, maka sudah saatnya pasangan atau ayah-bunda / papa-mama harus berbicara lagi berdua dari hati ke hati mengenai pola pengasuhan yang akan diterapkan kepada anak-anaknya. Nah, mencari waktu khusus berbicara berduanya ya, Bu, yang harus benar-benar diperhatikan, biar suasana keduanya sedang nyaman, bapak juga harus yg sedang benar-benar bisa diajak ngobrol fokus. Saran saya tetap harus diberikan “servis” dulu, dan kita pun saat mengajak bicaranya tidak ngotot, tidak menyalahkan beliau, mau menerima saran dan masukan beliau suami kita ya, Bu. Kalau sudah sama-sama senang hatinya, suami pun akan membantu kita dalam pengasuhan anak.

Sementara untuk ke anaknya sendiri, yang terpenting adalah anak melihat kedua orang tua ataupun ada orang dewasa lain di rumah semua satu suara, misalnya ada Opung, Bou, Tulang, siapapun yang di rumah semua akan terlebih dahulu mengkonfirmasi kepada orang tua kandung si anak saat perlu diambil suatu keputusan tertentu, baik yang sifatnya rutin sehari-hari, apalagi yang lebih penting.

7. Question: Bagaimana cara menyembuhkan hati anak (usia 4 tahun) yang sudah kita marahi, karena ibunya kelepasan emosi? Saya khawatir membekas di dalam hatinya hingga di usia dewasanya nanti. (Ibu Ratih Esra – BPEN)

Answer:

Ibu Ratih, terima kasih sudah mau berbagi untuk mengakui bahwa kita sebagai Ibu sering kelepasan emosi pada anak. Ini kita sekalian diskusi mengenai anger management ya Ibu, sehingga tips nya bisa dipakai dalam jangka panjang dan semoga tidak terulang lagi kita memarahi anak kita atas dasar emosi saja, tetapi perlu ada strategi lain untuk menegur dan mendidik anak kita.

Yang paling harus kita antisipasi adalah bukan hanya luka batin yang membuat Ananda tertekan, tetapi Ananda bisa berkembang menjadi pribadi yang keras dan suka marah-marah juga dengan pengalaman dimarahi ini.

Pertaman, coba Ibu ingat-ingat saat itu usia Ananda berapa ketika ibu pertama kali memarahi Ananda, saat itu ada kejadian apa yang dilakukan Ananda, ibu sendiri sedang menghadapi atau mengerjakan apa, dan kata-kata apa serta bahasa tubuh yang ibu sampaikan seperti apa. Ibu ingat-ingat juga reaksi Ananda saat itu ketika ia melihat ibunya memarahi untuk pertama kalinya. Jika sudah ingat, Ibu bisa melakukan evaluasi pribadi mengenai hal-hal yang ingin ibu koreksi tetapi ibu akan mempertahankan hal-hal yang ibu tetap anggap penting untuk diketahui Ananda saat itu.

Kedua, ibu sampaikan kepada suami (Ayahnya anak) tentang rencana ibu untuk mengganti pengalaman tidak menyenangkan Ananda karena reaksi marah ibu, dengan pengalaman yang lebih menenangkan saat ia melakukan kesalahan dan bagaimana anak melihat reaksi ibunya. Hal ini penting supaya kedua orang tua bisa saling kompak dan menguatkan, sehingga Ibu tidak perlu terlalu marah jika keduanya kompak saat mendidik atau meluruskan perilaku anak.

Ketiga, orang tua mulai melatih diri selalu menggunakan 4 magic words, yaitu: tolong, maaf, permisi, dan terima kasih. Perhatikan nada bicara, intonasi, serta volume, sehingga Ananda tidak merasa bingung atau berpikir terlalu dibuat-buat kebaikannya.Keempat, pastikan anak mendapat cukup sentuhan, pelukan, ciuman dan kepercayaan. Kelima, berlatih untuk tidak bersikap reaktif pada Ananda yang sedang belajar menjadi pribadi mandiri di usia 4 tahun ini, baik reaktif untuk membantu, reaktif untuk menegur, anak sangat peka pada perubahan ekspresi dari orang tuanya dan hal ini yang akan membuat dirinya percaya diri jika ia merasa dipercaya, tetapi ia bisa menjadi pribadi yang tidak percaya diri jika ia merasa tidak dipercaya. Sejalan dengan pertambahan usia Ananda, maka saat anak menghadapi masalah atau orang tua menganggap anak memperlihatkan masalah, untuk mengajaknya berbicara, menanganinya, sebaiknya kedua orang tua berdiskusi dahulu dan membuat strategi siapa yang akan berbicara dan kapan waktu yang tepat. Semoga dengan tips ini, berapapun jumlah anak kita yang diberikan Tuhan, kita akan bisa memberikan pengasuhan yang terbaik untuk dirinya menjadi pribadi yang bahagia dan percaya diri.

8. Question: Anak saya baru 1 dan usia 8 tahun, masih sangat manja. Apakah didikan saya untuk harus disiplin, tidak manja, dan mandiri akan mengubah karakternya menjadi anak yang keras kelak dia dewasa? Mohon sarannya ibu. (Ibu Vivi Michael Siahaan – KHPSG)

Answer:

Bu Vivi, kita buat bersama dulu batasan manja yang “boleh” dan “tidak boleh” ya.

Manja yang boleh untuk anak kita terutama sampai dengan usia mereka 12 tahun dan saat mereka remaja atau sudah dewasa sekalipun:

  1. Ingin ditatap oleh kedua orang tuanya, yang artinya ia merasa diperhatikan secara nyata, tatapan selama 5 menit percakapan akan lebih berkesan mendalam dibandingkan nonton bareng 2 jam tetapi tidak bertatapan (apalagi nggak ngobrol juga)
  2. Ingin dipeluk, dicium, di saat-saat tertentu misalnya mau tidur, bangun tidur, akan pergi keluar rumah, saat datang kembali (catatan: perginya cukup lama seperti ke sekolah), saat ulang tahun, saat hari raya, dan banyak lagi peristiwa yang membuat seorang anak ingin diberikan pelukan dan ciuman oleh kedua orang tuanya. Dan ini tidak berarti seorang anak manja.
  3. Sesekali ingin: dijemput orang tuanya, diantar ke tempat baru, dipilihkan baju ataupun yang lain untuk ia kenakan, ingin makanan yang dimasak orang tuanya, tidur di kamar orang tuanya, beraktivitas bersama di hari libur. Jika di usia sampai dengan 12 tahun Ananda sangat jarang mendapatkan pengalaman ini, bapak dan ibu jangan protes jika ia akan lebih senang berkegiatan di luar rumah dan malah mungkin lebih perhatian pada orang tua teman-temannya atau mungkin pada pacarnya, karena ia merasa orang tuanya juga jarang kok punya waktu berkumpul dengannya.
  4. Banyak kemanjaan lain yang sebenarnya adalah keinginan Ananda untuk merasa nyaman dan aman dalam perlindungan orang tuanya.

 Nah sekarang manja yang tidak disarankan dipertahankan:

  1. Ananda sampai dengan usia 5 tahun belum dipisahkan kamar dengan orang tuanya, alasannya bisa karena: penakut, orang tua yang bekerja seharian atau di luar kota sehingga kangen pada anak, lama-lama semua orang merasa tidak punya privacy karena sekamar terus menerus, anak pun jadi emosional dan kurang mandiri karena selalu merasa dilindungi kedua orang tuanya.
  2. Ibu bergantian dengan Ayah ingin melayani anak yang sifatnya kegiatan melatih koordinasi visual motorik bagi anak dan juga untuk kepekaan perasaannya, seperti makan, mengambil minum sendiri, memandikan, memakaikan baju, menyiapkan keperluannya saat akan bepergian (untuk anak usia di atas 4 tahun), menerima anak menyalahkan mereka ketika ada barang milik anak yang tertinggal (karena yang menyiapkan bukan Ananda), membereskan barang-barang yang sudah digunakan anak, meminta asisten rumah tangga atau orang dewasa lain untuk menggantikan mereka melayani anaknya ketika mereka harus pergi. Ini yang akan membuat anak menjadi kurang terampil mengatasi kebutuhannya, ia kurang mandiri sehingga mudah mengeluh mudah minta tolong, kepercayaan dirinya kurang terutama saat di luar rumah.
  3. Melindungi anak yang melakukan kesalahan, bisa karena malu atau tidak ingin anaknya dipermalukan, tetapi karena keterusan hingga usianya anak bisa memperhatikan situasi, sehingga anak menjadi kurang peka saat berbuat salah dan cenderung menyalahkan orang lain jika ia merasa tidak nyaman.
  4. Untuk usia anak, terbiasa membelikan mainan tanpa rencana adalah termasuk memanjakan yang tidak disarankan, karena Ananda akan kurang terlatih menahan diri dan membuat skala prioritas kebutuhan.
  5. Membiarkan Ananda memiliki pola tidur yang kurang sesuai dengan tuntutan berkehidupan, misalnya tidur terlalu malam, bangun siang. Atau Ananda memiliki pola makan yang pemilih dan kurang teratur, hal ini membuat anak kurang memahami aturan yang sifatnya standar akan dilakukan banyak orang.
  6. Anak yang usianya lebih kecil selalu dibela, yang lebih besar harus mengalah, yang kecil bisa jadi manja.

Sekarang tentang pentingnya mengajarkan kemandirian, karena akan membuat seorang anak terampil, tidak tergantung pada orang lain, percaya diri pada kemampuannya, mudah beradaptasi dengan situasi, dan punya pengalaman menyelesaikan masalah sehingga lebih mampu beradaptasi di lingkungan baru. Kemandirian adalah dasar dari perilaku bertanggung jawab.

Mengenai mengajarkan atau menerapkan disiplin, intinya disiplin itu adalah anak tahu bahwa ada aturan yang bersifat sosial yang harus ia patuhi dan ikuti karena akan membuat hidupnya dan orang-orang sekitarnya lebih teratur dan bisa terhindar dari masalah. Agar anak tahu aturan, paham penerapannya, patuh walaupun tidak ada orang tua atau orang dewasa di situ, maka suatu paket kedisiplinan itu harus diajarkan pada anak secara bertahap tetapi secara kontinu dan mendapatkan pendampingan untuk koreksi terutama di tahun-tahun awal kehidupannya (5 – 7 tahun pertama). Kesalahan pemahaman dari orang tua bahwa disiplin selalu berhubungan dengan keras, tegas, tidak boleh membantah, harus menurut sepanjang waktu dan tempat. Padahal yang terpenting adalah konsistensi, tidak perlu ada mata melotot ataupun suara melengking atau menggelegar untuk membuat anak belajar disiplin. 

Jadi bu, anak yang hatinya keras saat mereka remaja dan dewasa adalah saat pola asuh orang tuanya menanamkan aturan itu dengan suasana tegang, ada hukuman fisik jika melanggar, tidak menerima penjelasan anak, seolah orang tua harus menjadi cctv yang mengikuti anaknya terus menerus, sehingga Ananda ketika tidak merasa diawasi ia akan tergiur untuk melanggar aturan.

Semoga ibu bisa menerapkannya baik pada Ananda ya, bu.


WhatsApp us